Contoh Penulisan Chapter Report
CHAPTER I
MENGAPA HADHARI
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan
Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
CHAPTER REPORT
Disampaikan untuk Memenuhi
Tugas Mid Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
dari Zuhri, S.Sos.I., MP.d.I
Oleh
N a m a : M.IKROM
N I M : -
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM (MPI)
INSTITUT AGAMA
ISLAM (IAI) AL-AZHAAR
LUBUKLINGGAU
SUMATERA SELATAN
TAHUN 2014
CHAPTER I
MENGAPA HADHARI
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan
Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2011.
A. Pengantar
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan
yang penting . Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, bahkan menguji
konsistensi dari proses keilmuan. Dalam beberapa literature ia sering disamakan
dengan kerangka teori (theoretical framework). Sebenarnya paradigma
lebih umum dan lebih abstrak, karena ia merupakan kerangka logis dari teori.
Sehingga satu paradigma bisa melingkupi beberapa teori.
Secara umum, paradigma diartikan sebagai perangkat
kepercayaan atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada
kehidupan sehari-hari. Ada
yang menyatakan bahwa paradigma merupakan suatu citra yang fundamental dari
pokok permasalahan dari suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang harus
dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan
kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang
diperolehnya. Secara demikian, maka paradigma adalah ibarat sebuah jendela
tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia
dengan wawasanya (work-view).
Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan
mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun
dalam penyelidikan ilmiah. Selanjutnya ia mengartikannya sebagai (a) A set
of assumption and (b) beliefs concerning: yaitu asumsi yang
"dianggap" benar (secara given). Untuk dapat sampai pada
asumsi itu harus ada perlakuan emperik (melalui pengamatan) yang tidak
terbantahkan; accepted assume to be true (Bhaskar, Roy. 1989; 88-89).
Dengan demikian paradigma dapat dikatakan sebagai a mental wimdow, tempat
terdapat "frame" yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya karena
masyarakat pendukung paradigma telah memiliki kepercayaan atasnya.
Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan
fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga
pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, yaitu: (a).
dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah:
Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui (knowable),
atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan
demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of
reality?). (b). dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh
seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer)
dan objek yang ditemukan (know atau knowable)? (c). dimensi
axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan
penelitian. (d). dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang
dipergunakan dalam penelitian. (e). dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus
menjawab pertanyaan: bagaimana cara atau metodologi yang dipakai seseorang yang
menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi
pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma
apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuwan.
Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat
paradigma ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuwan dalam menemukan ilmu
pengetahuan yang berkembang dewasa ini.
Paradigma ilmu itu adalah: Positivisme, Postpositivisme (keduanya kemudian
dikenal sebagai Classical Paradigm atau Conventionalism Paradigm),
Critical Theory dan Constructivism (Cuba, Egon, 1990: 18-27).
Perbedaan keempat paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka dalam memandang
realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan ditinjau dari tiga
aspek pertanyaan: ontolgis, epistemologis, metodologis. Namun demikian beberapa
paradigma bisa saja mempunyai cara pandang yang sama terhadap salah satu dari
ketiga aspek pengembangan ilmu pengetahuan tersebut.
B. Positivisme
Positivisme
merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu
pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme
yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai
dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian, dalam hal ini adalah
untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas
tersebut senyatanya berjalan.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog
Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The
Course of Positive Philosophy (1830-1842). Comte menguraikan secara garis
besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak digunakan. John
Struart Mill dari Inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte
dalam sebuah karya yang cukup monumental berjudul A System of Logic.
Sedangkan Emile Durkheim (sosiolog Prancis) kemudian menguraikannya dalam Rules
of the Sosiological Method (1895), yang kemudian menjadi rujukan bagi para
peneliti ilmu social yang beraliran positivisme.
Menurut Emil Durkheim (1982: 59) objek studi sosiologi
adalah fakta social (social-fact): "….any way of acting, whether
fixed or not, capable of exerting over the individual an external constraint;
or something which in general over the whole of given society whilst having an
existence of its individual manifestation." Fakta social yang dimaksud
meliputi: bahasa, system hukum, system politik, pendidikan dan lain-lain. Sekalipun fakta social berasal dari luar
kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran
itu dinyatakan oleh peneliti kepada individu yang dijadikan responden
penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran
(peneliti) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek
dapat memberikan jawaban langsung kepada peneliti yang bersangkutan. Hubungan
epistemology ini, harus menempatkan si peneliti di belakang layar untuk
mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektivitas temuan.
Karena itu secara metodologis, seorang peneliti menggunakan metodologi
eksperimen-emperik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul
objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan
yang tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka
menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan
yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek
ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific
Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973), sebagai
berikut; dapat di/ter amati (observable), dapat di/terulang (repeatable)
dapat di/terukur (measurable), dapat di/teruji (testable) dan
dapat di/terramalkan (predictable). Syarat tersebut pada bagian 1 s/d 3
merupakan syarat-syarat yang diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan,
sedangkan dua syarat terakhir diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah
karena syarat-syarat itulah, maka paradigma positivisme ini sangat bersifat behavioral,
operasional dan kuantitatif.
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan
dan berjasa dalam waktu yang cukup lama (+ 400 tahun), kemudian berkembang sejumlah
'aliran' paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai
bidang kehidupan.
C. Postpositivisme
Paradigma
ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme,
yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang
diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang
memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam,
tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar
oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan
eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode
triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan
teori.
Secara
epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau
realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh
aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai
atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut
terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara
pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat
harus bersifat se-netral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat
dikurangi secara minimal.
Ada empat pertanyaan
dasar
berikut, akan memberikan gambaran
tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan. Pertama,
Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme diantara paradigma-paradigma ilmu
yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya
lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga
dinamakan postpositivisme? Postpositivisme memang amat dekat dengan paradigma
positivisme. Salah satu indicator yang membedakan antara keduanya bahwa
postpositivisme lebih mempercayai proses verivikasi terhadap suatu temuan hasil
observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul
mencapai objectivitas apabila telah diverivikasi oleh berbagai kalangan dengan
berbagai cara.
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma
realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar.
Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang
menolak adanya realitas dari suatu teori . Realisme modern bukanlah kelanjutan
atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari
pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak postpositivism yang berpengaruh yang
merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak
mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap
masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena
realitivisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang
pasti postposivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa
bukan kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu
benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap
terbaik dan benar.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka
tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak
criteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima.
Objektivitas merupakan indicator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan.
Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang
ingin ditekankan bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.
D. Konstruktivisme
Konsruktivisme, satu di antara paham yang menyatakan bahwa
positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang keliru dalam mengungkap
realitas dunia. Karena itu harus ditinggalkan dan diganti dengan paham yang
bersifat konsruktif. Konsruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan menolak
tiga prinsip dasar positivisme: (1) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas;
(2) hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan; (3)
hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu dan
tempat yang berbeda.
Paradigma ini mengembangkan sejumlah indicator sebagai
pijakan dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu. Beberapa indicator
itu antara lain: (1) penggunaan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data
dan kegiatan analisis data; (2) mencari relevansi indicator kualitas untuk
mencari data-data lapangan; (3) teori-teori yang dikembangkan harus lebih
bersifat membumi (grounded theory); (4) kegiatan ilmu harus bersifat
natural (apa adanya) dalam pengamatan dan menghindarkan diri dengan kegiatan
penelitian yang telah diatur dan bersifat serta berorientasi labaratorium; (5)
pola-pola yang diteliti dan berisi kategori-kategori jawaban menjadi unit
analisis dari variable-variable penelitian yang kaku dan steril; (6) penelitian
lebih bersifat partisipatif dari pada mengontrol sumber-sumber informasi dan
lain-lain.
Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas
bersifat social dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk
dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat
dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai
seperangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan
dialektis. Karena itu, paham ini menganut prinsip relativitas dalam memandang
suatu fenomena alam atau social. Jika tujuan pene-muan ilmu dalam positivisme
adalah untuk membuat generalisasi terhadap fenomena alam lainnya, maka
konstruktivisme lebih cendrung menciptakan ilmu yang diekpresikan dalam bentuk
pola-pola teori, jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja,
bersifat sementara, local dan spesifik dan tergantung pada orang yang
melakukannya.
Sejalan dengan itu, secara filosofis, hubungan epistemologis
antara pengamatan dan objek, menurut aliran ini bersifat suatu kesatuan,
subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya. Sementara
secara metodologis, paham ini secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus
dilakukan di luar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya (natural)
untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur
tangan dan manipulasi pengamat atau pihak peneliti.
E. Critical Theory
Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu
paradigma, tetapi lebih tepat disebut ideologically oriented inquiry,
yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi
ideolgis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo-Marxisme,
Materialisme, Feminisme, Freiresme, Partisipatory inquiry, dan
paham-paham yang setara.
Dilihat dari sisi ontologis, paradigma ini sama dengan
postpositivisme yang menilai objek atau realitas secara (critical realism)
yang tidak dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu untuk
memahami masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dan
komunikasi dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat dengan realitas yang menjadi
objek merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini
lebih menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan ilmu pengetahuan.
Paling sedikit ada enam tema pokok yang menjadi ciri
paradigma Critical Theory dalam praktek keilmuan. Pertama: problem
prosedur, metode dan metodologi keilmuan. Pada umumnya prosedur, metode dan
metodologi dalam penelitian suatu bidang keilmuan merupakan suatu hal yang
terpisah dan rigid dan cendrung untuk melupakan hal-hal yang bersifat social
dan histories. Dalam konsepsi Critical Theory, hal ini merupakan
satu hal yang tidak dibenarkan karena prosedur dan metode bukan suatu hal yang
berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari kecurigaan, pertanyaan dan praktek
yang berlaku di masyarakat. Kedua: perumusan kembali standart dan aturan
keilmuan sebagai logika dalam konteks histories.
Ketiga: dikotomi: objek dan subjek. Dalam berbagai
penelitian ilmu penekaan terhadap objektivitas merupakan suatu keharusan agar
temuan yang didapat lebih bisa bermakna. Sedangkan hal-hal yang bersifat
subjektif hendaknya sejauh mungkin dapat dihindari. Pemisahan antara dua unsure
ini, menurut pandangan Critical Theory merupakan suatu hal yang
dibuat-buat.
Keempat: keperpihakan ilmu dalam interaksi social. Paradigma
lama selalu menyatakan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang netral (science is
a value free) dan ilmu tidak mengenal perbedaan-perbedaan dalam masyarakat
untuk mengungkap kebenaran realitas yang ada. Pertanyaan-pertanyaan di atas
menurut Critical Theory tidak realistis dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu itu diciptakan memang untuk memihak pada keadaan, kelompok, atau
orang-orang tertentu, sesuai yang disukai oleh penggagasnya.
Kelima: pengembangan ilmu merupakan produksi nilai-nilai.
Ilmu yang dikembangkan selama ini, bukan semata-mata untuk mengungkap realitas
yang ada dan mencari kebenaran dari realitas tersebut. Namun pengembangan ilmu
juga diarahkan untuk memproduksi nilai-nilai yang dapat dijadikan pegangan
manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Keenam: ilmu pengetahuan (khususnya ilmu social) merupakan
studi tentang masa lalu. Paradigma yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
merupakan hasil studi masa kini, merupakan pernyatan yang kurang masuk akal.
Hampir semua ilmu social pada dasarnya merupakan studi tentang keteraturan social
pada masa lampau.
Keempat paradigma tersebut memiliki tampilan yang sangat
berbeda. Dengan melihat paparan di atas kemudian timbul pertanyaan, paradigma
mana yang paling baik? Tidak ada satupun paradigma yang sanggup mengungguli
satu sama lain, mengingat paham ini merupakan cara pandang seseorang terhadap
suatu realitas yang tergantung pada keadaan tertentu. Dalam bidang-bidang
eksak, biasanya paham positivisme dan postpositivisme yang mungkin paling
banyak digunakan, sedankan di bidang social, critical theory atau
constructivism yang mendapat tempat yang mapan.
D. Pembahasan
Pada hakekatnya semua paradigma yang ada merupakan
pengembangan dari aliran filsafat positivisme yang diprakarsai oleh Aguste
Comte (1798-1857). Filsafat Comte anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta
yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan
yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir
pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia
harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini
supaya ia dapat meramalkan apa yang akan menjadi.[1]
Filsafat positivisme Comte disebut juga faham
emperisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte
pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah
teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara
"terisolasi", dalam arti harus kaitkan dengan suatu teori. Metode
positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta
yang satu dengan fakta yang lain. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan
masalah hakekat atau asal-mula pertama dan tujuan akhir gejala-gelaja,
malainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.[2]
Menurut Rizal Mustansyir, August Comte banyak memberikan
inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang bercorak
Positivistik.[3]
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa ojek
ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific
Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973), sebagai
berikut; dapat di/ter amati (observable), dapat di/terulang (repeatable)
dapat di/terukur (measurable), dapat di/teruji (testable) dan
dapat di/terramalkan (predictable). Syarat tersebut pada bagian 1 s/d 3
merupakan syarat-syarat yang diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan,
sedangkan dua syarat terakhir diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah
karena syarat-syarat itulah, maka paradigma positivisme ini sangat bersifat behavioral,
operasional dan kuantitatif. (Muslih, 2008: 91-92).
Menurut Jerome R. Ravertz, para Positivis Logis dan
Empirisis memanfaatkan argument-argumen epistemic ini sebagai suatu peralatan
formal yang diambil dari filsafat matematik-khususnya, dari Principia
Mathematica (1910-1913) Russell dan Whitehead.[4]
Lebih lanjut Jerome R. Ravertz mengatakan bahwa beberapa filsuf memandang
setiap teori ilmiah yang berkenaan dengan besaran-besaran yang dapat diukur
(dapat dikuantifikasi) secara intrinsic lebih utama daripada yang bersifat
kualitatif (atau, seperti yang akan mereka katakan, yang bersifat
impresionistik), meskipun yang belakangan ini kaya dan terorganisir dengan
baik.[5]
Aliran
Pospositivisme menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat
kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan
objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek
harus bersifat interaktif. (Muslih, 2008: 92).
Ibnu Sina memberikan pandangan yang sama terhadap pernyataan
di atas, meskipun ia menggunkan ungkapan yang berbeda. Ia menyatakan, "
Bahwa pengetahuan adalah sebagai jenis abstraksi untuk memahami bentuk sesuatu
yang diketahui. Pendekatan utamanya yang sangat mungkin diuraikan olehnya
sendiri, adalah pada tingkat-tingkat daya abstraksi ini dalam pemahaman yang
berbeda-beda. Dengan demikian, persepsi inderawi memerlukan sekali kehadiran
materi untuk bisa memahami."[6]
Lain pula dengan
Mehdi Ha'iri Yazdi. Diapun mengungkapkan ksetujuannya dengan Pospositivisme di
atas meskipun dalam ungkapan yang berbeda pula. Ia berkata, " Penyelidikan
mengenai hakikat hubungan antara pengetahuan dan subjek yang mengetahui bisa
menuntun kepada landasan intelek manusia sendiri di mana kata mengetahui
tidak lain berarti mengada. Dalam keadaan ontologis kesadaran manusia ini,
dualisme hubungan subjek-objek terkalahkan dan tenggelam dalam suatu kesatuan
sederhana dari realitas diri yang tak lain adalah pengetahuan swaobjek. Dari
kesatuan sederhana ini, sifat kesadaran swaobjek, pada gilirannya, bisa
diderivikasikan. Dalam bahasa filsafat pencerahan kesadaran ini disebut
sebagai "pengetahuan dengan kehadiran (ilmu hudhuri).[7]
E. simpulan
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan,
bahwa dari empat paradigma keilmuan di atas tidak ada yang saling mengungguli
antara yang satu dengan yang lainnya. Semuanya punya peran masing-masing sesuai
dengan kelebihannya. Bidang-bidang eksak, biasanya paham positivisme dan
postpositivisme yang mungkin paling banyak digunakan, sedangkan di bidang
social, critical theory atau constructivism yang mendapat tempat yang mapan.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, terj. Saut Pasaribu,
(Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Mehdi Ha'iri Yazdi, Ilmu
Hudhuri, Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung:
Mizan, 1994)
M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996)
Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, (Yokyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008)
Betting in your city - Sporting 100
BalasHapusBetting in 바카라 your septcasino city หารายได้เสริม - deccasino Sporting 오래된 토토 사이트 100