Contoh Penulisan Chapter Report



CHAPTER I
MENGAPA HADHARI
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011.




CHAPTER REPORT
Disampaikan untuk Memenuhi Tugas Mid Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
dari Zuhri, S.Sos.I., MP.d.I

                                                                    








                                                                                         



Oleh

N a m a            : M.IKROM
N I M              : -




PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI)
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AL-AZHAAR
LUBUKLINGGAU SUMATERA SELATAN
TAHUN 2014



CHAPTER I
MENGAPA HADHARI
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2011.


A. Pengantar

         Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting . Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Dalam beberapa literature ia sering disamakan dengan kerangka teori (theoretical framework). Sebenarnya paradigma lebih umum dan lebih abstrak, karena ia merupakan kerangka logis dari teori. Sehingga satu paradigma bisa melingkupi beberapa teori.
         Secara umum, paradigma diartikan sebagai perangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari. Ada yang menyatakan bahwa paradigma merupakan suatu citra yang fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang harus dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Secara demikian, maka paradigma adalah ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasanya (work-view).
         Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah. Selanjutnya ia mengartikannya sebagai (a) A set of assumption and (b) beliefs concerning: yaitu asumsi yang "dianggap" benar (secara given). Untuk dapat sampai pada asumsi itu harus ada perlakuan emperik (melalui pengamatan) yang tidak terbantahkan; accepted assume to be true (Bhaskar, Roy. 1989; 88-89). Dengan demikian paradigma dapat dikatakan sebagai a mental wimdow, tempat terdapat "frame" yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya karena masyarakat pendukung paradigma telah memiliki kepercayaan atasnya.
         Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, yaitu: (a). dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui (knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of reality?). (b). dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (know atau knowable)? (c). dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian. (d). dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang dipergunakan dalam penelitian. (e). dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana cara atau metodologi yang dipakai seseorang yang menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuwan.
         Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuwan dalam menemukan ilmu pengetahuan yang berkembang  dewasa ini. Paradigma ilmu itu adalah: Positivisme, Postpositivisme (keduanya kemudian dikenal sebagai Classical Paradigm atau Conventionalism Paradigm), Critical Theory dan Constructivism (Cuba, Egon, 1990: 18-27). Perbedaan keempat paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka dalam memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontolgis, epistemologis, metodologis. Namun demikian beberapa paradigma bisa saja mempunyai cara pandang yang sama terhadap salah satu dari ketiga aspek pengembangan ilmu pengetahuan tersebut.



B. Positivisme
         Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
         Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842). Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih banyak digunakan. John Struart Mill dari Inggris (1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte dalam sebuah karya yang cukup monumental berjudul A System of Logic. Sedangkan Emile Durkheim (sosiolog Prancis) kemudian menguraikannya dalam Rules of the Sosiological Method (1895), yang kemudian menjadi rujukan bagi para peneliti ilmu social yang beraliran positivisme.
         Menurut Emil Durkheim (1982: 59) objek studi sosiologi adalah fakta social (social-fact): "….any way of acting, whether fixed or not, capable of exerting over the individual an external constraint; or something which in general over the whole of given society whilst having an existence of its individual manifestation." Fakta social yang dimaksud meliputi: bahasa, system hukum, system politik, pendidikan dan lain-lain.  Sekalipun fakta social berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu dinyatakan oleh peneliti kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran (peneliti) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada peneliti yang bersangkutan. Hubungan epistemology ini, harus menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektivitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang peneliti menggunakan metodologi eksperimen-emperik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
         Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973), sebagai berikut; dapat di/ter amati (observable), dapat di/terulang (repeatable) dapat di/terukur (measurable), dapat di/teruji (testable) dan dapat di/terramalkan (predictable). Syarat tersebut pada bagian 1 s/d 3 merupakan syarat-syarat yang diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan, sedangkan dua syarat terakhir diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah karena syarat-syarat itulah, maka paradigma positivisme ini sangat bersifat behavioral, operasional dan kuantitatif.
         Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan dan berjasa dalam waktu yang cukup lama (+ 400 tahun), kemudian berkembang sejumlah 'aliran' paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai bidang kehidupan.

C. Postpositivisme
         Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
         Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat se-netral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal.  
            Ada empat pertanyaan dasar  berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan. Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme diantara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Postpositivisme memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indicator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verivikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objectivitas apabila telah diverivikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
         Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori . Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi  merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
         Ketiga, banyak postpositivism yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena realitivisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postposivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
         Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak criteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indicator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

D. Konstruktivisme
         Konsruktivisme, satu di antara paham yang menyatakan bahwa positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang keliru dalam mengungkap realitas dunia. Karena itu harus ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat konsruktif. Konsruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan menolak tiga prinsip dasar positivisme: (1) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas; (2) hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan; (3) hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu dan tempat yang berbeda.
         Paradigma ini mengembangkan sejumlah indicator sebagai pijakan dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu. Beberapa indicator itu antara lain: (1) penggunaan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data dan kegiatan analisis data; (2) mencari relevansi indicator kualitas untuk mencari data-data lapangan; (3) teori-teori yang dikembangkan harus lebih bersifat membumi (grounded theory); (4) kegiatan ilmu harus bersifat natural (apa adanya) dalam pengamatan dan menghindarkan diri dengan kegiatan penelitian yang telah diatur dan bersifat serta berorientasi labaratorium; (5) pola-pola yang diteliti dan berisi kategori-kategori jawaban menjadi unit analisis dari variable-variable penelitian yang kaku dan steril; (6) penelitian lebih bersifat partisipatif dari pada mengontrol sumber-sumber informasi dan lain-lain.
         Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat social dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis. Karena itu, paham ini menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu fenomena alam atau social. Jika tujuan pene-muan ilmu dalam positivisme adalah untuk membuat generalisasi terhadap fenomena alam lainnya, maka konstruktivisme lebih cendrung menciptakan ilmu yang diekpresikan dalam bentuk pola-pola teori, jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, local dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya.
         Sejalan dengan itu, secara filosofis, hubungan epistemologis antara pengamatan dan objek, menurut aliran ini bersifat suatu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya. Sementara secara metodologis, paham ini secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan di luar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya (natural) untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak peneliti.

E. Critical Theory
         Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideolgis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo-Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freiresme, Partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara.
         Dilihat dari sisi ontologis, paradigma ini sama dengan postpositivisme yang menilai objek atau realitas secara (critical realism) yang tidak dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu untuk memahami masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dan komunikasi dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistemologis, hubungan antara pengamat dengan realitas yang menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan ilmu pengetahuan.
         Paling sedikit ada enam tema pokok yang menjadi ciri paradigma Critical Theory dalam praktek keilmuan. Pertama: problem prosedur, metode dan metodologi keilmuan. Pada umumnya prosedur, metode dan metodologi dalam penelitian suatu bidang keilmuan merupakan suatu hal yang terpisah dan rigid dan cendrung untuk melupakan hal-hal yang bersifat social dan histories. Dalam konsepsi Critical Theory, hal ini merupakan satu hal yang tidak dibenarkan karena prosedur dan metode bukan suatu hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari kecurigaan, pertanyaan dan praktek yang berlaku di masyarakat. Kedua: perumusan kembali standart dan aturan keilmuan sebagai logika dalam konteks histories.
         Ketiga: dikotomi: objek dan subjek. Dalam berbagai penelitian ilmu penekaan terhadap objektivitas merupakan suatu keharusan agar temuan yang didapat lebih bisa bermakna. Sedangkan hal-hal yang bersifat subjektif hendaknya sejauh mungkin dapat dihindari. Pemisahan antara dua unsure ini, menurut pandangan Critical Theory merupakan suatu hal yang dibuat-buat.
         Keempat: keperpihakan ilmu dalam interaksi social. Paradigma lama selalu menyatakan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang netral (science is a value free) dan ilmu tidak mengenal perbedaan-perbedaan dalam masyarakat untuk mengungkap kebenaran realitas yang ada. Pertanyaan-pertanyaan di atas menurut Critical Theory tidak realistis dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu itu diciptakan memang untuk memihak pada keadaan, kelompok, atau orang-orang tertentu, sesuai yang disukai oleh penggagasnya.
         Kelima: pengembangan ilmu merupakan produksi nilai-nilai. Ilmu yang dikembangkan selama ini, bukan semata-mata untuk mengungkap realitas yang ada dan mencari kebenaran dari realitas tersebut. Namun pengembangan ilmu juga diarahkan untuk memproduksi nilai-nilai yang dapat dijadikan pegangan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
         Keenam: ilmu pengetahuan (khususnya ilmu social) merupakan studi tentang masa lalu. Paradigma yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasil studi masa kini, merupakan pernyatan yang kurang masuk akal. Hampir semua ilmu social pada dasarnya merupakan studi tentang keteraturan social pada masa lampau.
         Keempat paradigma tersebut memiliki tampilan yang sangat berbeda. Dengan melihat paparan di atas kemudian timbul pertanyaan, paradigma mana yang paling baik? Tidak ada satupun paradigma yang sanggup mengungguli satu sama lain, mengingat paham ini merupakan cara pandang seseorang terhadap suatu realitas yang tergantung pada keadaan tertentu. Dalam bidang-bidang eksak, biasanya paham positivisme dan postpositivisme yang mungkin paling banyak digunakan, sedankan di bidang social, critical theory atau constructivism yang mendapat tempat yang mapan.          

D. Pembahasan
         Pada hakekatnya semua paradigma yang ada merupakan pengembangan dari aliran filsafat positivisme yang diprakarsai oleh Aguste Comte (1798-1857). Filsafat Comte anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan menjadi.[1]
         Filsafat positivisme Comte disebut juga faham emperisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara "terisolasi", dalam arti harus kaitkan dengan suatu teori. Metode positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan masalah hakekat atau asal-mula pertama dan tujuan akhir gejala-gelaja, malainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.[2]
         Menurut Rizal Mustansyir, August Comte banyak memberikan inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang bercorak Positivistik.[3]
         Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa ojek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973), sebagai berikut; dapat di/ter amati (observable), dapat di/terulang (repeatable) dapat di/terukur (measurable), dapat di/teruji (testable) dan dapat di/terramalkan (predictable). Syarat tersebut pada bagian 1 s/d 3 merupakan syarat-syarat yang diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan, sedangkan dua syarat terakhir diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah karena syarat-syarat itulah, maka paradigma positivisme ini sangat bersifat behavioral, operasional dan kuantitatif. (Muslih, 2008: 91-92).
         Menurut Jerome R. Ravertz, para Positivis Logis dan Empirisis memanfaatkan argument-argumen epistemic ini sebagai suatu peralatan formal yang diambil dari filsafat matematik-khususnya, dari Principia Mathematica (1910-1913) Russell dan Whitehead.[4] Lebih lanjut Jerome R. Ravertz mengatakan bahwa beberapa filsuf memandang setiap teori ilmiah yang berkenaan dengan besaran-besaran yang dapat diukur (dapat dikuantifikasi) secara intrinsic lebih utama daripada yang bersifat kualitatif (atau, seperti yang akan mereka katakan, yang bersifat impresionistik), meskipun yang belakangan ini kaya dan terorganisir dengan baik.[5]
         Aliran Pospositivisme menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat interaktif. (Muslih, 2008: 92).
         Ibnu Sina memberikan pandangan yang sama terhadap pernyataan di atas, meskipun ia menggunkan ungkapan yang berbeda. Ia menyatakan, " Bahwa pengetahuan adalah sebagai jenis abstraksi untuk memahami bentuk sesuatu yang diketahui. Pendekatan utamanya yang sangat mungkin diuraikan olehnya sendiri, adalah pada tingkat-tingkat daya abstraksi ini dalam pemahaman yang berbeda-beda. Dengan demikian, persepsi inderawi memerlukan sekali kehadiran materi untuk bisa memahami."[6]
           Lain pula dengan Mehdi Ha'iri Yazdi. Diapun mengungkapkan ksetujuannya dengan Pospositivisme di atas meskipun dalam ungkapan yang berbeda pula. Ia berkata, " Penyelidikan mengenai hakikat hubungan antara pengetahuan dan subjek yang mengetahui bisa menuntun kepada landasan intelek manusia sendiri di mana kata mengetahui tidak lain berarti mengada. Dalam keadaan ontologis kesadaran manusia ini, dualisme hubungan subjek-objek terkalahkan dan tenggelam dalam suatu kesatuan sederhana dari realitas diri yang tak lain adalah pengetahuan swaobjek. Dari kesatuan sederhana ini, sifat kesadaran swaobjek, pada gilirannya, bisa diderivikasikan. Dalam bahasa filsafat pencerahan kesadaran ini disebut sebagai "pengetahuan dengan kehadiran (ilmu hudhuri).[7]

E. simpulan
         Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa dari empat paradigma keilmuan di atas tidak ada yang saling mengungguli antara yang satu dengan yang lainnya. Semuanya punya peran masing-masing sesuai dengan kelebihannya. Bidang-bidang eksak, biasanya paham positivisme dan postpositivisme yang mungkin paling banyak digunakan, sedangkan di bidang social, critical theory atau constructivism yang mendapat tempat yang mapan.            








DAFTAR KEPUSTAKAAN


Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, terj. Saut Pasaribu, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)

Mehdi Ha'iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994)

M.M. Syarif, Para Filosof  Muslim, (Bandung: Mizan, 1996)

Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)



            [1]Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 86
            [2]Ibid., h. 87.
            [3]Ibid., h. Viii
            [4]Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, terj. Saut Pasaribu, (Yokyakarta: Pustaka pelajar, 2009), h. 119  
            [5]Ibid., h. 139-140.
            [6]M.M. Syarif, Para Filosof  Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), h. 119-120
            [7]Mehdi Ha'iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h. 17-18

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAKEKAT PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Cerita Pendek